Posted by : Zulfikar Alfayed Jumat, 05 April 2013


Sudah lama Inggris tak bisa bicara banyak di pentas internasional. Akankah berakhir di tahun 2014?
Jumat (22/3), Inggris mengamuk. The Three Lions membantai San Marino, negara yang sering menjadi bulan-bulanan lawan di laga antarnegara, dengan skor 8-0 di laga kualifikasi Piala Dunia 2014. Satu gol bunuh diri tim tuan rumah dan tujuh gol torehan tim asuhan Roy Hodgson menjadi sumber pembantaian.
Hebat? Tidak juga. Tapi partai ini memberikan kita dua hal yang perlu diingat. Pertama, Inggris “hanya” menghadapi San Marino. Kedua, St. George Cross bukan satu-satunya tim yang pernah mempermalukan San Marino. Tak ada yang perlu dibanggakan.
Well, Inggris memang tim yang over-rated. Lihat saja pencapaian mereka. Piala Dunia? Inggris hanya menjuarai turnamen ini sekali pada tahun 1966. Pencapaian terbaik berikutnya hanyalah menjadi peringkat keempat di tahun 1990. Piala Eropa? Hanya tahun 1968 dan 1996 mereka mampu sedikit berpuas diri lewat status juara ketiga.
St. George Cross pun pernah punya skuat dengan embel-embel “Golden Generation”. Dalam kurun waktu sepuluh tahun mereka melangkah ke setiap kompetisi besar dengan ekspektasi tinggi namun berakhir penuh kekecewaan. Materi pemain Inggris sebenarnya jauh dari kata buruk. Cukup sulit untuk menerima alasan mengapa Tim Negeri Elizabeth gagal memberikan dampak lebih dahsyat dalam empat Piala Dunia dan empat Piala Eropa terakhir. Sebut saja Paul Scholes, David Beckham, Frank Lampard, Steven Gerrard, Rio Ferdinand, Gary Neville, Jamie Carragher, John Terry.
Nama-nama tersebut tak asing di telinga dan semuanya punya skill kelas dunia. Mereka semua pernah merasakan manisnya gelar Liga Champions. Sebagian besar pernah merebut gelar Liga Primer Inggris, Piala FA hingga Piala Liga Inggris. Belum lagi penghargaan pribadi yang membuat masa pensiun kelak lebih bermakna. Lalu ada sejumlah orang di Inggris yang meyakini bahwa penalty shootout adalah sebuah kutukan bagi Inggris di turnamen akbar. Lebih sadis lagi kalau ada yang percaya negara mereka takkan pernah mampu menangi adu penalti lagi sampai kapanpun. Tentu saja hal tersebut punya alasan.
Di babak 16 besar Piala Dunia 1998, mereka gugur melawan Argentina. Pada perempat final Piala Eropa 2004 serta Piala Dunia 2006, mereka takluk di tangan Portugal. Perempat final Piala Eropa 2012? Kalian pasti masih ingat mereka kandas di babak perempat final melawan Italia plus bumbu penyedap berupa eksekusi ala Panenka dari Andrea Pirlo saat mempermalukan Joe Hart.
Kala Inggris bertemu lawan dengan kualitas sepantaran atau satu tingkat di atas mereka, The Three Lions bukan hanya kalah, tapi babak belur. Masih ingat kemenangan memukau Jerman atas mereka dengan skor 4-1 di Bloemfontein? Pertandingan di mana sebagian dari kita – termasuk saya – melihat munculnya bintang baru dari sosok Mesut Oezil, Sami Khedira, Thomas Mueller dkk. Kemenangan tersebut adalah awal dari periode baru Jerman di bawah tangan dingin Joachim Loew.
Mari sedikit mundur ke tahun 2001. Pemain yang baru saja memutuskan pensiun sebagai pemain, Michael Owen, menyarangkan tiga gol sembari membawa Inggris mempermalukan Jerman di depan publiknya sendiri dengan skor 5-1. Jerman terkejut dan DFB – federasi sepakbola Jerman – menilai ini sebagai sebuah kemunduran karena sebelumnya kedua negara sama-sama terpuruk di Piala Eropa 2000.
DFB mengambil keputusan dengan mengubah cara bermain dari level junior. Secara radikal mereka mengganti permainan fisik menjadi lebih berbasis teknik. Sepuluh tahun kemudian, skor 4-1 di Piala Dunia 2010 kontra Inggris adalah buah dari benih yang mereka tebar. Die Nationalmannschaft juga mampu mencapai semi final Piala Dunia 2010 dan Piala Eropa 2012, lebih banyak daripada yang Inggris lakukan dalam 16 tahun terakhir.
Harapan baru kini muncul dari skuat Hodgson pra-Piala Eropa 2012. Lihat bagaimana ia tak takut mengambil keputusan yang bisa dibilang cukup berani ketika menurunkan Alex Oxlade-Chamberlain di partai pembuka Polkraina 2012 melawan Perancis. Yakinlah Sven-Goran Eriksson takkan pernah berani melakukan hal yang sama.
Mantan pelatih Inter Milan ini juga lebih bijak saat memilih pemain. Hodgson akan melihat performa terakhir para punggawanya, bukan hanya karena pemain itu punya reputasi mumpuni. Para pemain muda dipadukan dengan sejumlah pemain berpengalaman. Lampard, Gerrard, Wayne Rooney, Glen Johnson dan Ashley Cole tentunya akan menjadi senior yang baik bagi para penerusnya.
Di bawah mistar gawang, mereka punya Joe Hart. Jika ingin menciptakan kejutan di Brasil 2014, kiper Manchester City ini harus berada di performa terbaiknya. Manchester United menyumbangkan dua pemain mudanya, Chris Smalling dan Danny Welbeck. Keduanya sudah membuktikan kemampuan dan tekniknya di Old Trafford. Duo Liverpool, Raheem Sterling dan Daniel Sturridge juga sedang tampil apik musim ini. Tapi, inti permainan Inggris ada di playmaker Arsenal, Jack Wilshere. Jika mampu tetap bebas dari cedera, ia akan menjadi jantung lini tengah The Three Lions.
Kian rendahnya ekspektasi publik pun bisa menjadi senjata andalan untuk tampil tanpa beban. Jika mereka mampu lolos ke Piala Dunia 2014, tak akan ada yang yakin mereka akan memenangi gelar bergengsi itu. Fleksibilitas taktik Hodgson menjadi argumen lain untuk meyakini hal-hal baik akan terjadi di timnas Inggris.
Semuanya memang masih sangat jauh. Inggris lebih baik melewati hadangan Montenegro di lanjutan kualifikasi Piala Dunia 2014, Selasa (26/3) terlebih dahulu sebelum membicarakan segalanya lebih lanjut.
Good luck, England!

Source: http://www.supersoccer.co.id/sepakbola-internasional/mampukah-inggris-tepis-segala-keraguan-di-pd-2014/

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2013 The Gunners -Sao v2- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -