Kehebatan raksasa Madrid tidak diragukan. Mereka adalah juara sembilan kali dari 12 kali kesempatan berlaga di partai puncak. Mahkota juara terakhir, gelar ke-9, mereka dapatkan sekitar sepuluh tahun silam, di Hampden Park, Glasgow ketika Madrid meruntuhkan Bayer Leverkusen 2-1.
Dua gol kemenangan Madrid waktu itu datang dari Raul Gonzalez dan Zinedine Zidane, dan Leverkusen menepiskannya lewat gol Lucio. Ketika itu, Iker Casillas – satu-satunya veteran juara musim 2001-2002 yang masih tersisa dalam skuad sekarang — masuk dalam line-up. Dia menjadi cadangan untuk Cesar.
Sejak itu pula, Casillas lalu menembus formasi inti. Dia lalu hampir tidak pernah dicadangkan. Kalau pun ada, itu tercatat hanya sekali. Itu muncul pada Mei 2002, sebelas tahun silam, ketika Madrid jumpa Deportivo La Coruna karena alasan teknis. Satu lagi, ban kapten juga melilit di lengan Casillas.
Apa yang terjadi belakangan?
Casillas hampir tidak pernah menjadi pilihan Jose Mourinho. Aksi terakhirnya muncul pada 24 Januari lalu saat Madrid berhadapan dengan Valencia di leg-2 semifinal Copa del Rey. Hanya 17 menit saja, sebelum Mou menariknya keluar karena cidera tangan kiri, harus dioperasi dan butuh recovery panjang.
Kini, Casillas sudah prima. Tapi dia tak juga jadi pilihan Mou. Diego Lopez, kiper yang didatangkan dari Villareal pengujung Januari lalu, justru terus menjadi starter.
Tengok empat laga terakhir Madrid, di La Liga atau pun dalam medium Liga Champions, Casillas memang sudah masuk line-up tapi dia hanya menjadi cadangan untuk Lopez. Bahkan dalam beberapa kesempatan, ketika Casillas masih dalam pemulihan, Antonio Aidan yang menjadi cadangan untuk Lopez.
Itu urusan Mou. Itu wilayah Mou. Memang. Bahkan hingga Madrid menembus final sekali pun, meredam Dortmund dan lalu juara, mempersembahkan La Decima untuk Los Galacticos—tanpa kontribusi Casillas.
Tapi saya akan bisa merasakan kepedihan Casillas jika La Decima, gelar ke-10, didapatkan ketika dia tidak lagi menjadi pilihan utama Mou. Sepuluh tahun silam dia berada di bangku cadangan, menjadi bayang-bayang Cesar. Kini pun dia juga menjadi baying-bayang Lopez.
Saya berlebihan untuk Casillas?
Ah, itu urusan persepsi. Toh buat Madrid, bintang terang mereka tetap saja Cristiano Ronaldo, anak Madeira, Portugal, yang kini menyandang ban kapten menggantikan posisi Casillas dan sudah melesakkan 44 gol untuk Los Galacticos—11 diantaranya dipetik lewat medium Liga Champions.
Ronaldo memang tulang-punggung. Dia meloloskan Madrid dari penyisihan grup yang heboh: dikelilingi para juara dari Belanda (Ajax), Inggris (City) dan Jerman (Dortmund). Dia lalu membawa Madrid ke perdelapan-final, menghentikan Manchester United—partai yang konon melahirkan bibit permusuhan Mou vs Casillas yang bermula dari kamar ganti.
Madrid lalu membekap Galatasaray di perempat-final, lolos ke semifinal— ini prestasi ke-7 sepanjang karir kepelatihan Mou, menyamai rekor Sir Alex Ferguson bersama United.
Hanya tinggal dua langkah untuk mewujudkan La Decima, gelar ke-10 Liga Champions, sebuah rekor pencapaian yang fantastis. Sudah di depan mata, meski kemudian – pada akhirnya, itu didapatkan ketika Casillas sangat mungkin masih duduk di bangku cadangan, persis sepuluh tahun silam.
Inilah sepakbola: pentas drama! Sama seperti dramatisnya Dortmund lolos ke semifinal, sama seperti fluktuatifnya langkah Madrid ke semifinal.
Madrid ke final dan lalu juara? Hmm, hanya mereka sendiri yang bisa menjawabnya!
Source: http://www.supersoccer.co.id/sepakbola-internasional/madrid-mou-casillas/